Manusia yang pintar di Indonesia sepertinya sudah terlalu banyak, tapi yang punya hati nurani dan sentuhan kemanusiaan semakin langka. Fenomenanya ditandai oleh tindak kejahatan kerah putih yang ada dibilik perkantoran mewah.
Karena mereka mengumbar ketamakan dan kerakusan hingga uang rakyat tega mereka ditilep. Bahkan tindak kejahatan yang lebih sadis dan keji demikian gampang dan entengnya mereka lakukan seperti tiada timbang rasa dan tak takut pada dosa dan karma.
Dan azab pun yang sudah mendera mereka -- seperti terkena pada anak, istri bahkan cucu -- seakan dianggap takdir yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan keji dan kekejaman yang tekah mereka lakukan sebelumnya.
Agaknya srperti itulah keambrukan etika, moral dan akhkak manusia yang pada dasar awalnya memiliki sikap dan sifat illahiah, karena memang telah ditetapkan Allah sebagai khalifah di muk mabumi.
Sebagai makhluk yang paling mulia, kini nilainya merosot berada jauh dibawah titik nol. Sebab kekejian demi kekejian terus dibiarkan bertumbuh liar, hingga rasa irj dan dengki pun yang tidak perlu dimunculkan tampil menjadi bagian dari keasyikan tersendiri. Karena itu, korupsi pun semakin membudaya, lantaran ingin kaya raya secepatnya dengan jalan pintas. Cikakanya birahi ketakusan dan ketamakan ini juga dipacu oleh lingkungan -- utamanya keluarga -- yang selalu mengukur semua bentuk keberhasilan itu adalah kejayaan semata. Tingkat pendidikan pun kalah pamor dengan segenap kemewahan yang bisa dimiliki.
Bahkan, tidak sedikit diantaranya yang beranggapan pendidikan itu tidak lagi penting, karena yang telah dijadikan takaran adalah materi. Akkbatnya tentu saja, perkawinan pun yang harus penuh muatan kesakralan itu pun takarannya juga adalah materi. Kasus perceraian dalam rumah tangga pun dominan disebabkan oleh kekayaan yang dianggap tidak memadai. Bahkan perpecahan dalam keluarga pun tidak sedikit akibat oleh warisan -- termasuk warusan kekuasaan yang sudah menjadi tradisi turun temutun, utamanya dari kalangan keraton yang pernah berjaya pada masa lalu.
Merosotnya nilai etika -- tidak hanya sebatas unggah ungguh dari mereka yang muda terhadap yang muda, tapi masalahnya tak banyak berbeda dari yang tua terhadap mereka yang muda. Seakan-akan persaingan dalam tata krana etika itu seperti harus saling menggagagi antara yang satu dengan yang lain.
Perkara moral pun tampak semakin canggih didandani dengan topeng agama -- bahkan dikamuflase dengan acara mupun semacam upacara-upacara keaganaan yang dibangun sedemikian indah dan cantik hingga mampu memukau dan mempesona orang lain. Inilah awal munculnya budaya pencitraan yang tampak marak saat menjelang Pilpres maupun Pilkada dan Pileg di negeri yang melegalkan kepalsuan-kepalsuan mulai dari sumpah dan janji yang merasa berdosa untuk tidak ditepati.
Budaya kepalsuan ini tampak terang dikakukan oleh mereka yang berkutat dibilik politik maupun ekonomi. Hanya sejak beberapa tahun terakhir wabah munafik dan hipokrit ini tampak terkesan telah menjalar -- atau menular -- pada mereka yang berada di habitat budaya dan keagamaan.
Dan penyakit serupa itu, tidak pula kecuali bagi kaum cerdik cendekia kita. Toh, suap menyuap di perguruan tinggi sudah lebih banyak contohnya yang dianggap tak lagi memalukan itu. Jadi bisa dibayangkan, budaya tipu daya, kongkalingkong, perselingkuhan intekektual dengan memperjual-belikan kesempatan terpilih menjadi rektor -- apalagi sekedar sogok menyogok untuk menjadi mahasiswa atau mahasiswi di perguruan tinggi
sekarang seperti telah menjadi trend yang baru. Sikap dan etos intelektual yang lebih bersifat akademisi ambyar hingga sulit untuk diidentifikasi marwahnya yang luhur itu. Karena itu, dilingkungan akademisi sendiri tampaknya hari ini tidak lagi memerlukan mereka yang jenius, karena mereka yang dibutuhkan adalah yang masih memiliki hati, rasa malu.
Sementara jauh diujung sana, masih ada terminal moral yang harus dilalui untuk sampai psda telaga akhlak yang bisa menyejukan tata kehidupan yang terasa makin meranggas.
Paparan ini sepenuhnya dipantik oleh dialog bersama Wali Spiritual Indonesia, Sri Eko Sriyanto Galgendu pada pelbagai kedempatan, dan hingga kini dia tetap gigih dengan gagasannya, yaitu membangun gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual bangsa Indonesia untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin dunia dalam peradaban tata dunia yang baru mulai hari ini.
Banten, 26 Januari 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar