Kontakpublik.id, JAKARTA-
Tak hanya Purnawirawan TNI dan Polri yang hadir dan aktif mengulas rasa cemas kekhawatiran mereka terhadap negeri ini, tapi sejumlah Guru Besar (Profesor) bahkan mantan Duta Besar yang nota bene dulu juga Pegawai Negeri Sipil, tak hendak berpangku tangan dan riang hati menghibur diri seperti sedang bercanda dengan burung perkutut di beranda rumah, seakan-akan negeri kita sedang baik-baik saja, toh realitasnya tidak seperti itu adanya.
Dialog mereka sangat serius memapar beragam soal untuk mencari jalan keluar guna mengatasinya agar tidak terus berlanjut sampai negeri ini ambruk.
Iklim yang makin memanas menjelang tahun politik 2024 atas nama demokrasi, terkesan semakin liar dan ngawur mengabaikan tata krama -- etik profetik -- yang sepatutnya tetap menjadi pijakan budaya yang ugahari, santun tanpa harus kehilangan harga duri dan rasa malu.
Acara diskusi santai yang diselenggarakan Forum Negarawan dibawah bendera GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) saat menjelang buka puasa hari ke 17 bulan Ramadhan 1444 Hijriah, jadi semakin khusuk, hingga seperti bagian dari ibadah wajib yang tidak terpisahkan dari tugas mulia khalifah Allah di muka bumi. Sehingga makna terdalam titah dari langit itu -- rahmatan lil alamin -- seakan sedang dan telah dihembuskan ke segenap delapan penjuru angin.
Letnan Jendral Purn. TNI-AD Bambang Darmono tampil dengan penuh keramahannya mewakili Sohibul hajat di Posko Purnawirawan TNI dan Polri yang memposisikan diri sebagai rakyat. Hadir diantaranya, Prof. Sri Edi Swasono, Laksamana (Purn) Tedjo Edhy, Sayuti Asyathri, Jendral Agustadi, Bambang Sulistomo dan Mayor Jendral Syamsudin serta Nurrachman dan sejumlah tokoh penting negeri ini yang lain.
Letnan Jendral Purnawirawan Bambang Darmono dalam sambutannya memperkenalkan Foko (Forum Purnawirawan TNI dan Polri) dahulu lahir untuk membicarakan masalah negara dan politik kenegaraan. Jadi tidak menyoal tentang Politik kekuasaan. Sehingga Foko selaras dengan Forum Negarawan yang dimotori GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia). Acara berbuka puasa pun terus dirangkai dengan acara hening cipta langsung dipimpin Sri Eko Sriyanto Galgendu selaku penggagas acara.
Forum Negarawan, kata Sri Eko Sriyanto Galgendu sangat berharap lahir dan tampilnya sosok negarawan yang mampu mengembalikan jati diri dan martabat bangsa Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan oleh Susuhunan Pakubuwono XII dan Gus Dur (Abdurachman Wahid) serta Prof. Dr (HC) KH. Muhammad Habib Chirzin, kata Ketua GMRI dan motor penggerak serta penggagas Posko Negarawan yang kini telah memiliki Forum Negarawan
Jendral Bambang
Darmono membuka acara diskusi dengan menyoroti soal Keppres Tentang Pelanggaran HAM Berat yang menjadi sorotan banyak pihak. Sehingga kesan tendensius dari Keppres yang mengakui adanya pelanggaran HAM berat di Indonesia seharusnya dapat diusut sejak Indonesia merdeka, tidak terpenggal hanya sebatas peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Sehingga kesan dalam permintaan maaf itu terkesan telah mendiskreditkan TNI yang menumpas pemberontakan itu telah melakukan kesalahan yang patal. Karena Keppres itu tidak mengusut sampai jauh ke belakang sejak Indonesia merdeka.
Kalau motivasinya ada pihak yang cuma ingin mendapat santunan, alangkah rendah harga diri manusia ini dihargai hanya dinilai dengan uang, kata Bambang Darmono. Padahal, kalau motivasinya untuk mendapat santunan, maka korban dari kebiadaban PKI itu sangat banyak termasuk yang dialami pihak TNI, masyarakat sipil, tandas Ki. Sri Edhi Swasono yang juga menjadi pengasuh utama Perguruan Taman Siswa.
Maka itu kegeraman Jendral Bambang Darmono tentang Keppres yang terkait dengan pelanggaran Ham berat ini tidak jelas janggal dan keliru karena tidak menggunakan parameter yang jelas tandasnya. Karena kreteria baku dari pelanggaran HAM berat itu adalah terstruktur dan meluas sifatnya.
Atas dasar itulah, katanya Foko Purnawirawan TNI dan Polri akan menyampaikan protes dengan menyurati Pemerintah melalui Menko Polhukam untuk menunda hasrat pemerintah melakukan penulisan ulang sejarah tentang G30S/PKI terkait dengan PP No. 17 Tahun 2022 itu. Karenanya, imbuh Prof. Sri Edhi Swasono, TNI seharusnya lebih tegas menolak, Perpres yang telah menimbulkan kegaduhan itu.
Sikap TNI tidak boleh ambivalen terhadap UUD 1945, tandas Prof. Sri Edhi Swasono. Bagaimana mungkin barang yang sudah rusak seperti UUD 1945 itu masih perlu dikaji ulang, katanya menyoal keinginan Foko Purnawirawan TNI yang masih ingin melakukan kaji ulang terhadap UUD 1945 yang sudah dirusak itu.
"Jadi barang yang sudah bobrok, tidak lagi layak untuk dikaji ulang", kata Prof. Sri Edhi Swasono. Oleh karena itu dia mengajak TNI menolak secara tegas UUD 1945 hasil amandemen yabg tidak perlu dikaji ulang itu. Semua pihak harus diajak dan mendukung upaya kembali kepada UUD 1945 yang asli bersama TNI, kata Profesor Sri Edhi Swasono.
Prof. Indria Santi Kertabumi justru menyarankan agar adanya kajian terhadap dampak kegaduhan dari masalah G30S/ PKI yang dialami oleh para pihak korban tokoh militer maupun tokoh agama dan rakyat yang tidak berdosa.
Meski Presiden belum pernah meminta maaf kepada PKI, tapi Presiden telah menyatakan adanya pelanggaran HAM di Indonesia.
Nurrochman, mantan Kedubes di sejumlah negara sahabat, termasuk Belgia, menyarankan perlunya ada pemacu dan pemicu untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan negara. Dia siap mendukung sikap Foko Purnawirawan TNI dan Polri untuk berdiri tegak lurus di atas konstitusi. Jadi anjuran untuk tidak salah dalam memposisikan konstitusi itu sakral. Padahal, konstitusi itu memang sakral dan perlu kita pelihara bersama, kata Nurochman.
Merosotnya moral anak bangsa Indonesia akibat pembangunan fisikal sentris, tidak spiritual sentris. Apalagi kemudian mata pelajaran tentang budi pekerti yang ditiadakan.
Laksamana (Purn) Tejo Edhy, justru berkisah tentang pengalamannya bersama Presiden untuk menolak permintaan maaf kepada PKI itu sungguh tidak sederhana. Karena waktu itu yang hendak minta maaf itu bukan pribadi Jòko Widodo, tetapi seorang Presiden. Jadi permintaan maaf itu tidak ada, tapi yang terjadi adalah pengakuan adanya pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.
Sementara Habib Sayuti Asyathri menyoroti usaha untuk memindahkan ibu kota negara (IKN) yang tidak ada dalam perencanaan dan janji sebelumnya, jelas menyalahi syariat konstitusi. Karena ini, memaksakan pindahnya Ibu Kota Negara ke Penajam, Kutai Kertanegara itu telah terjadi semacam pembangkangan konstitusi.
Begitulah sejumlah masalah bangsa dan negara yang mengemuka dalam acara diskusi dan buka puasa bersama Forum Negarawan yang berlangsung di Aula Foko Purnawirawan TNI dan Polri, Jl. Senen Raya No. 18 Jakarta, (Selasa 11 April 2023). Sedangkan untuk acara halal bi halal, Forum Negarawan akan dilaksanakan pada 11 Mei 2023. Tempatnya, menurut Sri Eko Sriyanto Galgendu akan menyusul kemudian bersama undangan. ( Do/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar