Kontakpublik.id-Jakarta
Kematian itu seperti sedang menunggu giliran. Tak juga prioritas bagi yang tua, sebab kerentaan sudah berulang kali mengejutkan bagi mereka yang relatif muda. Ada stroke, ada yang jantungan, dan ada yang diabetes. Semua mengeluh dalam diam mengumbar sabar yang terlanjur lambat didapatkan dari perguruan spiritual tanpa ijazah.
Tak cuma lelaki, karena banyak juga perempuan yang memperlihatkan akibat konsumsi makanan yang berlebihan. Mereka mengaku capek dan bosan pergi pulang ke Singapura, seperti piknik dahulu ketika duit sempat tak terbilang, termasuk dari asal muasalnya yang gelap. Sebab yang penting, bukan dari mana, karena yang utama adalah ingin apa dan tidak sampai tertunda. Sebab bagi mereka pun paham, bahwa hidup hanya sekali, seperti yang mereka baca dari puisi Chairil Anwar.
Kalau pun sudah ditakdirkan ingin hidup seribu tahun lagi, toh dalam usia muda sudah diarak menuju Karet dengan segenap cerita dan nostalgia yang tidak mungkin terulang. Persis seperti mereka sebagai penghantar dan pembezuk di rumah sakit, justru ikut sakit lantaran ikut menahan dera dan derita saudara atau anggota keluarganya yang sakit parah. Begitulah vonis sementara hasil dari Laboratorium Patologi Klinik.
Lain cerita sufi kita yang selalu merasa sehat itu. Karena sakit baginya telah menjadi bagian dari nikmat. Dan sehat itu bagi sang sufi hanyalah bagaimana cara mensugesti diri agar selalu merasa sehat. Seperti halnya lapar yang sudah dia lalui dengan cara berpuasa model seluruh Nabi. Sehingga lapar menjadi nikmat bagaimana caranya merasa kenyang dalam kondisi lapar.
Maka itu ketika dia berkunjung ke rumah sakit, itu bukan berarti dirinya sedang tidak sehat, tetapi dia hanya sekedar ingin melengkapi persyaratan bila dirinya sungguh ingin mematuhi persyaratan dan anjuran dari rumah sakit. Pagi ini, Sang Sufi tampak ikut antrean untuk diperiksa, meski tak di rumah sakit yang terbilang mahal. Dia cuma sekedar untuk meyakinkan semua anggota keluarga telah melakukan kontrol kesehatan. Obat-obatan dia tebus dengan harga yang relatif mahal. Kendati tak satu pun obat-obatan itu dia konsumsi sebagaimana yang dianjurkan.
Dari pengalaman langsung yang dia saksikan di rumah sakit, ternyata penyakit itu tidak pandang bulu, misalnya hanya menghajar rakyat kecil saja. Realitasnya, toh tidak sedikit orang kaya yang diserbu oleh macam ragam penyakit yang nyaris tak satu pun dia pahami itu. Kesimpulan dari beragam penyakit dan beragam kalangan yang disergap oleh penyakit yang sangat asing dari khasanah pengetahuan dirinya itu, Sufi kita ini hanya bisa menyimpulkan betapa banyak dan tidak terbatasnya rahasia kebesaran Tuhan dibanding ilmu dan pengetahuan apalagi untuk kekuasaan maupun kekuatan manusia yang sesungguhnya serba terbatas.
Karena itu, sebagai pelaku di jalan sepi, Sufi kita ini semakin yakin bahwa nikmat dan kuasa Tuhan sesungguhnya tidak terbatas. Sehingga dia teringat ketika sedang sehat, semua makanan apapun sangat nikmat dia rasakan. Termasuk ketika buang hajat, karena tidak sedikit dari jumlah mereka yang tidak mampu atau bahkan tidak bisa menikmati hal- hal yang sesederhana itu, padahal sesungguhnya itu semua adalah bagian kenikmatan yang diberikan Tuhan atas kuasa dan kasih serta sayang-Nya.
Maka itu, tidak kentut dan tidak buang air besar untuk beberapa hari lamanya pun, dia nikmati saja dengan penuh tawakal serta keyakinan, jika itu semua perlu disyukuri dan diterima dengan kesabaran dan kepasrahan. Jadi sungguh, dia merasa semakin ingin selalu dekat dengan Tuhan, tak hanya ku ketika sakit, tetapi juga ketika sehat dan merasakan berbagai kenikmatan yang telah dilimpahkan oleh Tuhan kepada dirinya. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar