Kontakpublik.id,JAKARTA -
Mereka yang sakit, mereka sedang menjalani rawat jalan, mereka yang cuma periksa saja, banyak juga diantara mereka antrean menebus obat. Yang pasti, semua karena sakit, atau setidaknya kurang sehat.
Rumah sakit memang tempat berkumpulnya orang sakit, atau mereka yang kurang sehat. Tapi yang pasti semua membawa penyakit bawaan mereka masing-masing. Ada yang parah hingga sulit dijelaskan, ada juga yang sedang-sedang saja, seperti lagu dangdut yang tetap saja mengundang iba dan rasa prihatin. Sebab kita pun tak hendak didera derita seperti yang tidak mereka kehendaki itu.
Meski demikian kondisi dan situasinya, wajah ketegangan pun sulit disembunyikan, walau tawa canda masih acap tampil dan muncul diantara pembicaraan sesama pasien yang tampak berkerumun, seakan sepakat membuat suatu kelompok yang senasib, meski beda tanggungan yang mendera mereka. Bahkan, masih ada satu kelompok yang lain terkesan asyik membicarakan calon Presiden untuk bertarung pada Pemilu tahun 2024.
Dan yang tak kalah seru adalah pembahasan mengenai calon wakil presiden yang memang tampak sengaja digantung oleh partai yang belum menemukan kata sepakat, mungkin soal mahar atau mas-kawin dari mereka yang melamar untuk disandingkan di pelaminan partai politik.
Jadi intinya nanti, rakyat hanya memilih hasil pilihan dari partai yang banyak disebut telah memiliki kekuasaan berlebihan sehingga mengusir esensi dari kedaulatan rakyat yang makin tidak jelas juntrungannya.
Begitu juga mereka yang dilamar atau melawan, sama gilanya karena harus menyediakan dana yang tak alang kepalang besarnya.
Konon cerita yang beredar luas di kalangan pesuntuk politik di negeri ini, setidak seorang calon kandidat presiden perlu mempersiapkan paling sedikit tiga triliun rupiah. Dan bagi calon presiden memerlukan dana minimal satu triliun rupiah. Tapi dengan nominal minimal itu, belum juga bisa memberi kepastian untuk duduk di kursi kekuasaan itu. Karena motivasi dari mencalonkan diri itu -- termasuk calon legislatif -- tidak lagi mengutamakan pengabdian, tapi sungguh-sungguh deni dan untuk kekuasaan. Jadi memang lebih dominan unsur pertaruhannya. Sebab menang dan kalah itu saja kalkulasinya.
Lalu bagaimana logikanya untuk sebuah kekuasaan harus bertaruh duit begitu banyak ?
Jadi sungguh gila dan tak masuk akal sehat hanya untuk mendapatkan kedudukan yang tak lagi dipahami sebagai sarana pengabdian itu kini telah dikapitalisasi begitu mahal, sehingga patut dicurigai asal muasal duit sebanyak itu yang kelak akan menjadi hantu yang lebih seru dan seram sergahannya, karena menuntut imbalan yang kayak dan juga bisa dianggap wajar.
Lantas, siapa sesungguhnya yang sakit -- seandainya dana sebesar itu amblas tidak berbekas -- karena kalah. Lantaran untuk mereka yang menang saja dalam Pilpres, Pilkada atau pun Pileg itu -- sulit bisa diterima akal, bagaimana caranya jika dana segede itu harus dapat dikembalikan.
Artinya, jumlah orang yang sakit sesungguhnya tidak cuma yang mampu kita lihat keluar-masuk rumah sakit itu saja. Tapi yang penuh nafsu birahi untuk duduk di kursi kekuasaan ini, kata para pengikut filsafat psikoanalisme adalah pengidap penyakit jiwa berkelanjutan yang maniak sifatnya.
Sedangkan bagi seorang kawan yang terbilang sebagai penulis produktif pun, ternyata rahasia dari produktivitas dirinya berkarya justru menjadi terapy bagi dirinya agar tidak pikun dan tidak lupa, apakah sungguh hari ini benar hari Sabtu atau hari Minggu. Maka itu, banyak orang sakit yang merasa waras itu jelas tidak benar. Sebab makna waras itu tak hanya bersifat fisik, tapi juga psikis, seperti nafsu Pilkada mau menjadi calon di kampung orang lain, yang sangat mungkin belum pernah fia kunjungi sama sekali. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar