Kontakpublik.id,JAKARTA-
Cawe-cawe itu istilah di kampung kami Lempuyangan, Ngayogyakarta Hadiningrat yang biasa digunakan untuk mengatakan ikut campur dalam suatu urusan atau pekerjaan orang lain yang sepatutnya tidak sepantasnya dilakukan oleh siapapun. Konvensi ala kampung ini memang tak tertulis, karena Ronggowarsito pun tidak kurang kerjaan untuk melakukan hal yang lain.
Ibarat hendak mengadakan acara pesta perkawinan yang sederhana misalnya, Pak Lurah -- sekalipun punya otoritas seluas kampung -- rasanya sungguh tak elok ikut campur menentukan bentuk tarub apalagi sampai acara akad nikah yang pengesahannya pun cuma bisa dilakukan oleh Pak Penghulu, atau naif. Jadi, perilaku Pak Lurah yang genit dan ganjen mau cawe-cawe dalam pernikahan warga setempat, itu semacam penyakit power sindrom yang dilatarbelakangi oleh rasa takut setelah tidak lagi menjadi Lurah, sebab bisa dikuyo-kuyo layak orang yang diteriaki sebagai pelaku maling ayam.
Cawe-cawe itu pun kata Embah Darmo akibat jiwa yang sakit tidak bisa dikontrol karena dikejar-kejar oleh bayangan diri sendiri berwajah buruk seperti penyakit bawaan lainnya, persis semacam kegemaran blusukan yang tak jelas juntrungannya. Padahal, sebagai Pak Lurah, toh sudah dilengkapi oleh sejumlah staf khusus -- bahkan yang super spesial -- untuk mengatasi masalah infrastruktur yang buruk, karena tak kunjung dibangun meski dana sudah dikucurkan.
Cara menunda pembangunan yang sudah dikucurkan dananya itu, sekedar untuk memperoleh bunga bank atas jasa endapan dana yang tersimpan untuk beberapa waktu lamanya di bank itu. Pendek kata, beragam model penilepan duit rakyat dilakukan dengan memelihara sindikat narkoba hingga mafia perjudian hingga atas nama subsidi bagi rakyat mulai dari Sembako sampai minyak solar yang sulit didapat sejak awal tahun 2023, khususnya di Jawa Tengah sekitarnya.
Jadi wajar urusan yang lebih penting diurus justru malahan jadi terbengkalai, lantaran sibuk cawe-cawe dengan urusan yang tidak perlu dilakukan. Karena itu, hasrat Pak Lurah yang sangat ambisius melakukan komersialisasi fasilitas milik kampung untuk berbagai keperluan diluar kedinasannya, patut diingatkan sebagai perilaku yang tidak elok terus diumbar supaya tidak menjadi penyakit yang menular.
Arti cawe-cawe itu memang cuma bisa diartikan ikut campur untuk suatu urusan yang sebenarnya tidak elok untuk dilakukan, karena memang tidak dalam kapasitas yang bersangkutan untuk melakukannya. Seperti kesukaan Pak Lurah di kampung kami yang suka ikutan ngurusin rumah tangga orang lain. Sementara rumah tangganya sendiri realitasnya sangat berantakan.
Yang pasti, kesukaan cawe-cawe itu beda dengan sikap dan sifat ringan tangan yang gemar memberi bantuan secara spontan tanpa pamrih. Tetapi sikap dan kegemaran cawe-cawe itu ada unsur pamrihnya yang tersembunyi untuk mendapatkan sesuatu atau bahkan memiliki harapan yang sangat besar. Maka itu, perilaku cawe-cawe itu tidak mempunyai nilai keikhlasan. Tapi ada pamrih dan hasrat terselubung yang diusung oleh hasrat dibalik cawe-cawe itu. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar