Kontakpublik.id,JAKARTA -
Kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu atau Kerajaan Medang awalnya bercorak Hindu-Budha berada di Jawa Tengah bagian Selatan pada abad ke-8. Lalu dua abad kemudian (pada abad ke-10) pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno yang pertama didirikan oleh Raja Sanjaya di Ngayogyakarta Hadiningrat. Yang agak aneh, nama Sanjaya sendiri seperti tidak pernah diabadikan menjadi nama jalan, misalnya seperti jalan Sultan Agung atau nama Raja lainnya maupun tokoh yang pernah melegenda semasa Mataram Kuno, kecuali setelah Mataram bercorak Islam, Pangeran Senopati.
Pada masa itu, Kerajaan Mataram kuno sempat menjadi lumbung padi yang enak, seperti yang bisa dinikmati sampai awal Indonesoa merdeka dari daerah Kali Urang dan Klaten. Juga -- pada masa itu banyak prasasti yang menandai masa kejayaan Mataram Kuno, seperti adanya bangunan indah dari Candi Songo, Candi Gedong dan Candi Brobudur, Cando Mendut, Candi Plaosan hingga Candi Prambanan. Sementara pada bagian lain ada juga Candi Ceto, Candi Sewu yang bisa menjadi bagian dari tempat ziarah dan upacars yang bersifat spiritual hingga dapat memberi nilai tambah -- tak hanya sebatas nilai ekonomi dan nilai budaya semata bagi bangsa Indonesia di mata dunia, tetapi juga mempunyai nilai-nilai spiritual yang sakral, yang tidak mungkin bisa ditemukan di negara lain.
Tiga dinasty dari Kerajaan Mataram Kuno adalah Dinasty Sanjaya, Syailendra (di Jawa Tengah) lalu Dinasty Isana,(di Jawa Timur). Pada masa awal pemerintahan Sanjaya, masih bercorak Hindu, namun setelah dinasti Syailendra bercorak Budha.
Kesemua dari Raja Mataram Kuno ini terkenal dan mampu berjaya karena sungguh cakap, arif dan bijaksana bahkan memiliki keyakinan agamanya yang kuat. Begitulah ekspresi yang terwujud dalam bentuk sejumlah candi yang indah dengan tampilan seni arsitektur yang tinggi, penuh dan dipadati relief yang mengurai narasi pada masa itu dan masa sebelumnya yang sungguh sangat menakjubkan.
Karena itu, sejumlah peninggalan masa lalu ini -- seperti candi dan prasasti Canggal misalnya patut dan pantas dijadikan obyek wisata spiritual -- bukan sekedar obyek wisata budaya -- sehingga mampu memberi peluang sebagai obyek wisata spiritual yang sakral sebagaimana tafsir dari nilai dari spiritual yang terdapat di dalam seluruh bagian bangunan candi berikut nilai-nilai filosofisnya yang tersurat maupun yang tersurat di dalam keseluruhan bentuk serta posisi dari tampilan peninggakan masa silam itu bersama alam lingkungan sekitarnya yang sungguh menawan.
Agakbya, dari ketakjuban itulah Tim Safari GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang digagas Sri Eko Sriyanto Galgendu bersama sejumlah tokoh nasional seperti Gus Dur, Sinuwun Paku Buwono XII dan Prof. Dr. KH. Muhammad Habib Chirzin serta pemuka agama lainnya giat memelopori gerakan kebangkitan kesadaran spiritual yang relevansi dan jitu untuk mengatasi krisis etika, moral dan akhlak serta nilai-nilai manusia karena melalaikan basis etik profetik yang patut menjadi landasan spiritualitas bagi bangsa dan pengelola negara Indonesia.
87 persen jumlah pelaku korupsi di Indonesia adalah sarjana merupakan bukti nyata bahwa tingkat intekektualitas tidak berbanding lurus dengan laku spiritual. Karena kepongahan akal pikiran para intelektual kering dan tandus dari nuansa spiritual yang diabaikan.
Karenanya, hasil penelisikan dari Atlantika Institut Nusantara bahwa perilaku korup itu dilakukan oleh orang pintar -- tidak bodoh -- tapi para koruptor itu adalah manusia yang tidak memiliki etika, tidak bermoral dan berakhlak buruk. Karenanya beragam aktivitas keagamaan dari kepercayaan dan keyakinan apa saja, perlu diberi dukungan guna mendekatkan diri dengan Tuhan. Diantara melalui wisara ziarah spiritual. Dan sejumlah candi seperti di Muara Jambi dan Muara Takus serta tempat ibadhah bersejarah umat Islam, Katholik dan Kristen serta Hindu dan Budha hingga Klenten, tak cuma oerlu direnovasi serta di lestarikan. Seperti Majid Agung Demak, dan Masjid Agung Banten serta Mesjud Agung Luar Batang di Jakarta Utara, perlu dibuka lebih luas, seperti Candi Brobudur dan Candi Muara Takus dapat dikelola serta diposisikan sebagai tempat ziarah wisata spiritual, tidak hanya sebatas obyek wisata budata semata.
Langkah maju dengan cara memposisikan sejumlah obyek wisara sejarah, wusara budaya hingga menjadi tempat wisata (upacara) ziarah spiritul, artinya tak berhenti atau dikerdilkan dalam orientasi ekonomi semata -- tapi juga budaya -- yang bisa ditingkatkan menjadi bagian dari obyek arau tempat upacara yabg bernuansa keagamaan. Sehingga tradisi dan budaya spiritual bsngsa Indonesia dapat menjadi pelopor sekaligus rujukan acuan spiritualitas dunia. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar