Kontakpublik.id,JAKARTA - Hasrat rakyat mengikuti Pemilu (Pilpres, Pileg dan Pilkada) jelas karena ingin perubahan yang lebih baik, lebih mensejahterakan dan lebih adil. Artinya, selama ini tingkat kepuasan rakyat terhadap kondisi yang tidak lebih baik itu tidak diinginkan. Karena itu wacana tiga periode untuk jabatan Presiden Joko Widodo yang pernah mengemuka, riuh mendapat penolakan dari masyarakat. Begitu juga dengan hasrat cawe-cawe Presiden dalam pemilihan Presiden, semakin jelas rakyat tidak menginginkan kelanjutan dari kebijakan Joko Widodo yang banyak dianggap tidak mengedepankan kepentingan rakyat.
Jadi jargon seorang calon Presiden Indonesia mendatang (2024) yang mengusung semangat perubahan jelas mengadopsi hasrat dan keinginan rakyat banyak. Tinggal kelak bagaimana mewujudkannya itu akan ditagih oleh rakyat, agar tidak mengulang kebohongan dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Kecuali itu tentu saja ada seabrek harapan dan keinginan misalnya untuk tidak mengobral sumber daya alam Indonesia. Melindungi segenap warga bangsa Indonesia untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan manusiawi, seraya mencegah serbuan bangsa asing masuk ke Indonesia untuk merebut semua bidang pekerjaan yang ada.
Karena itu menjadi sangat relevan hadirnya Partai Buruh untuk tidak tinggal diam membiarkan lapangan kerja di negeri sendiri diambil oleh bangsa asing. Sayangnya, kehadiran Parai Buruh tampak tidak berdaya, akibat asyik dengan dirinya sendiri, sehingga tidak bisa mengoptimalkan segenap potensi yang ada dari kaum buruh.
142 juta tenaga kerja Indonesia -- termasuk pengangguran -- mesti dapat menjadi potensi kemenangan bagi Partai Buruh. Tapi partai yang sejatinya pantas disebut milik wong cilik ini, justru terkesan ekslusif. Bermain genit pada tingkat elite sehingga salah pula dalam menentukan pilihan dukungan terhadap calon presiden.
Kesalahan dalam menentukan pilihan terhadap calon presiden oleh Partai Buruh ini memiliki konsekuensinya buruk terhadap sikap kaum buruh yang berada pada tingkat bawah. Karena itu, kebijakan atau kepentingan politik sektoral hendaknya tidak perlu diteruskan, karena akan membelah atau mencabik-cabik kebersamaan dan semangat solidaritas yang harus senantiasa terjaga dan dipelihara sebagai kekuatan bagi Partai Buruh.
Peringatan untuk tidak melupakan sejarah, bulan lantas berarti harus dipahami dengan njelimet mengenang masa lalu. Tapi kekalahan Partai Buruh sejak reformasi patut dijadikan pelajaran dan acuan, setidaknya bagi segenap jajaran pengurus partai jangan pongah, seakan-akan telah menjadi penguasa yang berhak menghitam-putihkan semua keputusan, tanpa mendengar suara dari bawah.
Realitasnya hari ini, Aliansi Buruh Yogya (gabungan dari berbagai Serikat Pekerja/ Buruh) telah mendeklarasikan dukungannya kepada Calon Presiden Anies Rasyid Baswedan. Sementara kaum buruh di Bogor sebelumnya pun telah mendeklarasikan dukungannya kepada Anies Rasyid Baswedan. Padahal, pada beberapa bulan lalu ketika diperoleh kepastian Ganjar Pranowo akan ikut Pilpres, pada tingkat pusat Partai Buruh justru memberikan dukungannya yang berbeda dengan pilihan kaum buruh dari Yogyakarta dan Bogor. Adakah itu pertanda dari makna perubahan yang dicanangkan Anies Rasyid Baswedan telah memenangkan pertarungan sebelum pertandingan dimulai ?
Makna perubahan yang hendak dicapai lewat Pemilu, sudah jelas satu diantaranya adalah membuat budaya politik di Indonesia tidak lagi terkesan ekslusif. Partai Buruh harus dan wajib mempeloporinya, sehingga satu diantara tugas partai politik adalah melaksanakan pendidikan politik utamanya bagi kaum buruh. Sehingga proses kaderisasi tidak seperti yang terjadi dalam organisasi atau serikat buruh -- yang cenderung ikut melanggengkan kekuasaan. Artinya, kekhawatiran jadi wajar dan patut diwanti-wantikan, agar kelak ketika menjadi pejabat publik tidak ada terlintas dibenak untuk membangun dinasty kekuasaan sepanjang masa.
Budaya partai politik dengan menunjuk calon yang hendak dijagokan bertarung dalam Pemilu, jelas dan pasti menunjukkan perilaku yang baik atau tidak dari karakter yang dibangun oleh partai yang bersangkutan. Persis seperti budaya nepotisme atau bahkan dinasty politik yang kini semakin mewabah akibat dipantik oleh budaya dinasty ekonomi sejak lama di Indonesia.
Jadi jelas partai buruh tidak mengusung budaya perubahan -- persis dan sebangun dengan kekalahannya disepanjang sejarah -- Orde Lama hingga Orde Reformasi -- keok terus menerus, karena memang tak bergerak, tak hendak melakukan perubahan.
Dengan demikian, kekalahan awal partai buruh telah dibuktikan oleh ketidakmampuan membaca suasana batin atau hati kaum buruh seperti yang terjadi di Yogyakarta dan di Bogor yang telah mendeklarasikan pilihan Calon Presiden yang dijagokan. Jadi tak singkron dengan suasana hati para petinggi Partai Buruh yang ada di Jakarta. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar