Kontakpublik.id,JAKARTA-Dalam acara diskusi mengenang almarhum yang diselenggarakan sahabat dan sobat dekatnya, Markenun didapuk Karto Glinding memberi pengantar sejauh yang dia kenal tentang sosok almarhum. Mulai dari masa anak-anak hingga remaja mereka telah menjalin hubungan yang akrab, hingga layak seperti saudara yang ditandai oleh banyak hal, termasuk untuk saling berbagi dan meminta, tidak kecuali dalam bentuk fisik maupun hal-hal yang lebih bersifat spiritual.
Meski begitu, Markenun tetap mengakui bila almarhum justru yang lebih dominan memberi, utamanya dalam pandangan atau gagasan untuk dirinya yang lebih banyak menghadapi persoalan hidup, baik dalam lingkungan keluarga, profesi pekerjaan yang dia tekuni maupun pengembaraan batin seperti filsafat hidup sampai masalah keyakinan yang bertaut dengan agama.
Karena itu, menurut Markenun dia dapat memastikan bahwa almarhum adalah sosok yang cukup religius. Kendati dalam laku agama yang ditekuni nyaris tidak pernah diketahui banyak orang. Sebab dalam menunaikan ibadah lama waktu saja sungguh jarang dapat disaksikan dia melakukannya. Bahkan pada suatu kesempatan hendak solat berjamaah, pun almarhum selalu mempersilah sahabat dan sobatnya yang lain untuk menjadi imam.
Hingga suatu saat yang santai, Markenun sempat mempertanyakan ikhwal keenggannan almarhum yang selalu menolak ditunjuk sebagai imam. Jawaban pun sangat cukup sederhana dan bisa diterima akal. Alasan yang dia kemukakan cukup sederhana dan masuk akal. "Saya belum siap dan yakin untuk menanggung beban serta dosa, bola saat menjadi imam solat itu terjadi kesalahan dan kekeliruan. Sebab seorang imam solat itu sama dengan sosok seorang pemimpin dalam masyarakat maupun kenegaraan, jika terjadi kesalahan maka semua dosa atau derita rakyat yang telah menjadikan kita sebagai panutan, akan kita menjadi tanggungan kita semua kesalahan itu. Karenanya, sosok seorang pemimpin dalam konsepsi rakyat atau orang banyak itu sungguh berat. Apalagi ada kaitannya dengan amanah yang tidak mampu dilakukan. Maka itu, beban dosa bagi mereka yang khianat, sungguh sangat besar dan berat", kata Markenun memberi kesaksian tentang pemahaman serta pandangan hidup almarhum tentang berbagai hal yang dipahaminya dalam dimensi keagamaan.
Suatu ketika, ujar Markenun berkisah dirinya pernah berdiskusi berat ikhwal kematian bersama almarhum. "Kematian itu sendiri, kata almarhum adalah pertanda dari berhentinya suatu proses atau gerakan dari sebuah organ yang pernah hidup. Baik untuk makhluk, tumbuh-tumbuhan maupun suatu mesin", ujar Markenun memparkan pandangan almarhum tentang hakekat kematian. Tetapi secara filosofis, kematian itu pun bisa dipahami tiadanya fungsi yang dapat dilakukan oleh suatu organ, maka itu sebuah organisasi pun dapat dikatakan telah mati, ketika tak lagi mampu melakukan kegiatan sebagaimana mestinya.
Jadi, kematian bagi seorang penulis, bisa dipahami ketika karya tulisnya dianggap tak mempunyai pengaruh apa-apa bagi orang lain, utamanya bagi mereka yang menjadi obyek sorotan dari tulisan itu, maupun untuk orang lain yang membacanya, namum tidak merasa mendapatkan sesuatu dari ulasan yang dipaparkan melalui tulisan tersebut. "Maka itu, apa artinya hidup, jika sesungguhnya diri kita sudah dianggap mati oleh orang lain", ujar Markenun mengutip pendapat almarhum dari diskusi mereka saat mengalami malam ramadhan setahun silam.
Pengantar singkat untuk acara diskusi mengenang kepergian almarhum ini cukup mendapat apresiasi dari berbagai jurnalis dan aktivis, termasuk sejumlah seniman yang sempat mengenal almarhum secara langsung maupun hanya lewat karya tulis almarhum lumayan banyak berserakan termuat dalam berbagai media.
Sayangnya, usai pengantar diskusi yang disampaikan Markenun ini, waktu rehat untuk sekedar minum kopi dan mengambil panganan khas kampung kesukaan almarhum yang sudah disediakan Sohibul hajat, semakin membuat banyak pertanyaan semakin banyak menggumpal di benak hadirin yang cukup antusias mengikuti acara haul untuk almarhum ini. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar