Kontakpublik.id, BANTEN- Kesetaraan dalam pemahaman yang populis, mungkin bisa dipahami dengan pengertian kesamaan untuk banyak hal serta perlakuan terhadap orang lain. Sehingga untuk mengakar sikap dan sifat kesetaraan itu dapat diperlakukan atau bercermin untuk diri sendiri. Agak lain pemahaman terhadap istilah yang nyaris serupa -- namun pasti tak sama -- yaitu keadilan, seperti perbedaan tipis antara kebebasan dan kemerdekaan yang acap latah disebutkan, tapi memiliki makna pengertian yang sangat berbeda.
Ibarat dua saudara kembar serahim, toh sifat dan sikapnya pasti berbeda, atau bahkan begitu kontras layak warna hitam dan putih yang selalu jadi padanan dari cara memandang suatu bentuk dari tampilan sepengal parkara dalam suatu peristiwa. Istilah ini oun sangat gampang diucapkan, namun cukup sulit dan rumit untuk diwujudkan.
Karena itu mungkin yang menyebabkan banyak orang gemar mengucapkan apa yang tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan. Hasrat pihak pemerintah hendak melaksanakan program makan gratis itu, bisa dipahami semacam keinginan yang mulia untuk mengurangi beban hidup rakyat miskin. Sehingga konteksnya, jadi terkesan untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia yang berharap agar kesejahteraan dapat diperbaiki seperti melalui usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memelihara fakir miskin.
Padahal, dibalik program makan gratis yang hendak diwujudkan oleh pemerintah itu, sulit menghindar dari kesan menghadirkan rasa iba yang sangat tidak mendidik. Sebab akan lebih elegan bila biaya makan gratis yang gede itu digunakan untuk membuat lapangan kerja yang gampang untuk membangun rasa percaya diri warga masyarakat kebanyakan yang miskin akibat tidak memiliki pekerjaan, alias pengangguran.
Memang sungguh sukar untuk dipahami bagaimana reaksinya dengan teori ketergantungan yang sudah populer menjadi tajuk bincang para cerdik cendekia di Indonesia pada era tahun 1970 hingga tahun 1980. Jadi selayaknya teori ketergantungan yang ditempelkan untuk negara dunia ketiga ini sudah usang dan lapuk. Tapi rasanya, masih tetap segar dijadikan jurus politik untuk membuat drop mental terjajah yang seakan pantas dikasihani.
Pada era keriuhan dari penguhujaman mental terjajah itu dahulu, belakangan baru bisa benar dipahami ada korelasinya dengan pementasan Teater Muslim yang di disponsori sepenuhnya sendiri oleh Pedro Sujono, sebagai pengusaha tempe yang sangat sukses ketika itu. Tampilan pementasan naskah drama berjudul "Si Bakhil" ini ternyata sanepo dari sikap pemerintah yang pelit dan cenderung mau untung sendiri. Karena dalam khasanah tata bahasa ilmu ketatanegaraan, itulah akibat langsung dari pengaruh jahat kapitalisme yang diurai melalui fraksi materialistik.
Agaknya, sejak itu budaya korupsi di Indonesia pun semakin ugal-ugalan menjadi sesembahan semua pejabat publik, sehingga seorang purna wira yang telah rampung menunaikan tugas dan kewajiban dari negara akan menjadi olok-olok jika tetap miskin, karena memang untuk jenjang jabatan apapun -- seperti yang terus terjadi sampai hari ini di Indonesia -- tidak mungkin dapat menjadi kaya, lantaran gaji yang diterima setiap bulan cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Jadi, kalau untuk semua pejabat yang mau kaya raya, jalan pintas satu-satunya yang bisa ditempuh adalah korupsi.
Lalu sikap dari tabiat yang bakhil itu pun secara otomatis seperti sunnattulah ikutannya. Akibatnya yang lain pun, sikap untuk menghargai pekerjaan orang lain pun -- termasuk yang profesional sekalipun -- menjadi tidak berlaku.
Tampaknya, dari situasi dan kondisi yang sangat materialistik inilah yang melahirkan istilah "pahlawan tanpa tanda jasa". Seiring dengan birahi pencitraan dengan memasang sejumlah gelar, bahkan hasrat membuat ijazah palsu atau pamer garis dari darah keturunan para tokoh yang telah melegenda dalam sejarah Nusantara hingga paska Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak kemerdekaan.
Kecenderungan untuk menghapus atau mengabaikan eksistensi historis pun berbarengan dengan sikap kerdil serupa pada saat yang sama. Maka itu keberadaan masyarakat adat dan masyarakat keraton, sungguh sangat kentara untuk terus dihabisi, seperti kekayaan alam dan budaya di daerah yang terus dihabisi sampai sekarang. Impak politiknya pun, agar daerah -- baik pemerintah maupun masyarakatnya -- tak bisa banyak berulah untuk dibuat ketergantungan dengan pemerintah pusat.
Simtom dari sikap dan sifat ketergantungan serupa itu pun cukup mewarnai tabiat lembaga atau organisasi serta kelompok masyarakat hingga aktivis pergerakan yang tetap mengaku idealis demi dan untuk memperjuangkan kepentingan orang banyak. Sementara anggotanya sendiri keleleran, seperti insan pers yang tetap dipuja dan disanjung sebagai salah satu pilar demokrasi. Toh, realitasnya banyak dipersekusi dan dizalimi oleh mereka yang juga mengaku sebagai penjaga negeri ini.
Sungguhkan begitu sikap Bakhil dan Teori Ketergantungan yang mewarna kilau pelangi di negeri kita sampai sekarang ini (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar