Kontakpublik.id, BANTEN- Permohonan maaf yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada acara zikir nasional menandai bukan kemerdekaan RI pada 1 Agustus 2024 di Istana Merdeka Jakarta terkesan tidak serius. Hingga permohonan maaf kepada seluruh bangsa Indonesia yang merasakan ada kesalahan dalam keputusan sampai tindakan yang dirasa telah merugikan banyak orang itu, sekedar sampiran semata -- semacam uji coba terhadap rasa pahit yang mendera berbagai pihak -- adakah permaafan itu bisa ikhlas diberikan atas segenap perilaku dalam membuat keputusan hingga pelaksanaannya yang telah merugikan orang banyak.
Permaafan itu sendiri yang hendak diberikan pasti didasari juga oleh permohonan maaf yang ikhlas, tulus serta kesadaran untuk memperbaiki perilaku yang sudah dilakukan, andainya pun tidak bisa membalas dengan sejumlah perbuatan baik yang nyata hingga dapat meredakan rasa perih yang selama ini dirasakan oleh banyak orang, sehingga terkesan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran untuk memuaskan nafsu dan keinginan sendiri tanpa menenggang hak dan perasaan orang lain. Karena itu, permaafan yang bisa diberikan secara ikhlas dan tulus pun mensyaratkan hanya mungkin diberikan kepada kesalahan yang tidak sengaja dilakukan, atau akibat kealpaan maupun kekhilafan semata.
Jadi, permaafan pada kesalahan yang dilakukan dengan cara sengaja -- apalagi dengan terencana dan terstruktur itu -- jelas sangat sulit untuk mendapat permaafan, seperti reaksi serta tanggapan dari berbagai pihak yang menolak memberikan maaf itu. Karenanya, langkah terbaik dari Presiden Joko Widodo untuk memperoleh permaafan dari rakyat Indonesia yang merasa telah sangat dirugikan oleh keputusan hingga perilaku yang dilakukan selama ini adalah menahan diri sambil melakukan lebih banyak hal yang bermanfaat bagi rakyat sambil menekan ambisi pribadi untuk membangun dinasty maupun legasi yang tidak bermanfaat bagi orang banyak.
Oleh karena itu, langkah bijak yang ugahari adalah mau mendengar keluh dan kesah rakyat untuk kemudian menjawab dengan kerja nyata dalam beragam bentuk yang diinginkan rakyat banyak itu. Sehingga, suara rakyat sebagai suara Tuhan dapat diimplementasikan dalam wujud yang nyata, tanpa pamrih, secara tulus dan ikhlas. Bukan untuk membangun benteng perlindungan maupun pertahanan dari keharusan bertanggung jawab atas semua perbuatan yang telah dilakukan hingga membuat rakyat banyak merasa semakin sengsara dan kesulitan dalam hidup sehari-hari.
Artinya, beban berat yang terpaksa harus dipikul oleh rakyat banyak itu dapat segera dikurangi, dan pasti akan lebih ideal bisa dibebaskan sama sekali untuk ikut menanggung beban pada masa depan yang pasti akan semakin berat seperti yang dapat diproyeksi secara gampang pada hari ini. Setidaknya Ikhwal hutang negara yang sudah terlanjur membengkak dan akan menjadi beban generasi bangsa di masa mendatang.
Pada dasarnya pemberian maaf yang ikhlas dan tulus itu pun menjadi syarat yang mutlak dari permohonan maaf yang tulus dan ikhlas juga untuk mengakui perbuatan yang telah dilakukan, terlebih pada hal-hal yang dilakukan dengan sengaja dan terencana, sebagai penakar dari itikad baik atau buruk bagi setiap orang yang mau memberikan permaafan secara ikhlas dan tulus.
Memang, permohonan maaf itu pun merupakan langkah awal dalam kesadaran untuk melakukan pertobatan. Tatapi kesadaran itu tidak cukup bila tidak diteruskan dengan perbuatan nyata untuk banyak hal yang baik, yang bermutu serta hal-hal yang lebih memberi manfaat bagi mereka yang merasa telah dicederai oleh perilaku buruk pada masa lalu itu. Sebab masa kini hanya akan menerima hal-hal yang baik -- bukan basa basi atau sekedar pemanis bibir yang tetap tidak pernah menyentuh kegetiran hati yang merasakan betapa pahit dan getirnya dari apa yang selama ini telah mendera rakyat banyak.
Konsekuensinya pun, perilaku yang salah dari perbuatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin, akan dirasakan oleh seluruh rakyat yang berada dibawah kekuasaannya. Maka itu, ganjaran baik yang akan dia terima pun setara dengan do'a syukur rakyat yang menikmatinya. Begitu juga sebaliknya, dosa dan hujatan hingga sumpah serapah pun wajar jadi imbalannya yang setara pula. Semua ini -- jika dipercaya dalam perspektif agama -- merupakan ganjaran yang patut diterima sesuai dengan ibadah dan perbuatan kita. Maka itu, karma dan azab itu, pasti seperti menunggu waktu mati dan kapan masuk ke liang kubur.(Rudi Bako)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar