Kontakpublik.id,BANTEN - Apapun cerita dan argumennya, menyamakan Joko Widodo seperti Raja Jawa, agaknya terlalu berlebihan. Setidaknya, Raja Jawa sendiri tidak seperti Joko Widodo. Raja Jawa itu Arif dan bijaksana, penuh tenggang rasa serta sangat menghargai pendapat dan keinginan orang lain, apalagi bagi rakyatnya sendiri.
Sepanjang sejarah, realitasnya Raja Jawa belum pernah tercatat menggusur tanah rakyat dengan semena-mena, apalagi mau memaksakan kehendak sendiri. Sebab Raja Jawa itu lebih banyak mendengar suara rakyat, tanpa pernah dipaksa oleh siapapun. Apalagi sampai harus di demo atau sejumlah unjuk rasa yang terpaksa harus berulangkali nyamperin Istana. Jika pun ada rakyat yang protes terhadap Raja Jawa, cukup "pepe" (berjemur) di sudut alun-alun keraton tanpa kehebohan. Tak ada yang sampai ribuan melakukan unjuk rasa seperti yang terjadi di Jakarta dan kota besar Indonesia lainnya karena merasa betapa yang sengsara akibat kebijakan atau pun tindakan Raja Jawa yang sengaja telah menyakitkan hati rakyat. Maka itu konsepsi tentang Raja Jawa bahwa Tahta UU untuk rakyat itu dapat dipahami bila seluruh kebijakan maupun tindakan seorang Raja Jawa sungguh serius diorientasikan untuk rakyat. Bukan untuk dirinya sendiri atau keluarganya semata. Minimal, pada rentang sejarah kekuasaan Raja Jawa bertahta, laku "Pepe" pun tidak cukup genap hitungannya dari sejumlah jari tangan.
Jadi menyetarakan Joko Widodo dengan Raja Jawa sekedar basa-basi kalau pun tidak bisa disebut sebagai budaya "angkat telor" semata, seperti yang populer dalam olok-olok dari Tanah Batak, sekedar untuk tidak menyebut sebagai perilaku penjilat yang ingin membuat bapak senang.
Budaya "angkat telor" bagi orang Sumatra umumnya sungguh sangat berbahaya. Karena manusia yang bersangkutan tidak layak dijadikan kawan. Karena sikap hipokrit akan selalu terjadi tanpa pernah memiliki nyali untuk berkata benar, atau memberi pendapat maupun saran yang obyektif. Akibatnya, tentu saja bisa membuat terjerumus dalam bagi orang yang suka dipuji, meski telah melakukan kesalahan seabrek dan suka untuk mendapatkan pembenaran terhadap perilaku buruknya yang jahat. Begitulah manusia munafik, atau ingin "cari selamat" untuk dirinya sendiri.
Dalam pepatah para leluhur suku bangsa Nusantara pun cukup bijak mengatakan; "Raja Alim disembah, Raja zalim disanggah". Ini artinya dapatlah dipahami dalam konsepsi kerajaan di Nusantara ini adanya demokrasi yang tumbuh dan terpelihara dalam tradisi maupun budaya masyarakat keraton.
Jadi untuk sosok seorang kawan yang sejati, adalah mereka yang setia dan jujur serta penuh rasa sayang serta cinta kasih untuk memberi saran atau pendapat maupun usulan atau bahkan kritik yang obyektif sebagai upaya untuk menjaga, melindungi dan untuk menyelamatkan agar yang bersangkutan tidak terjerumus pada jalan yang sesat. Jadi jelas kesalahan dalam bersikap maupun bertindak dari apa yang telah dan atau sedang lakukan dapat itu janganlah sampai melukai hati dan merugikan orang lain. Sehingga rakyat tidak semakin didera oleh kesusahan dan kesulitan dalam hidup akibat harga bahan pangan pokok tidak mampu dikendalikan. Tentu saja akibat dari kezaliman ini menjadi penyebab munculnya berbagai protes pada kebijakan maupun tindakan Sang Raja, ketika rakyat merasa telah sangat dirugikan dan terzalimi. Apalagi kemudian, rakyat banyak dikhianati. Termasuk janji palsu dan iming iming kosong untuk dapat memuluskan ambisi dan hasrat pribadi yang tidak ada urgensinya bagi rakyat banyak.
Sosok seorang Raja -- tak hanya di Jawa -- adalah panutan bagi rakyat untuk ikut menata pelaksanaan pemerintahan yang baik dan benar, bukan menurut kehendak atau keinginan birahi pribadinya sendiri. Maka itu -- sekali lagi -- konsep Sri Sultan Hamengku Buwono -- IX atau pun yang ke X -- bahwa kekuasaan (Tahta) itu adalah untuk rakyat, bukan untuk memperluas kekuasaan serta ambisi pribadi guna memperluas ambisi kekuasaan yang rakus. Jika pun itu harus terjadi, semua itu bolehlah dilakukan untuk bangsa dan negeri orang lain. Bukan untuk bangsa dan negeri sendiri.
Kalaupun harus mengacu pada budaya Jawa, kisah Amangkurat I lebih dari cukup. Sehingga harus menghadapi kehidupannya yang tragis dan sempat menyaksikan pula negerinya runtuh. Atau bisa pula sedikit memperluas wawasan sejarah Raja Louis XVI yang lebih despotik dan harus mengakhir hidupnya dengan kepala terpenggal akibat kemarahan rakyat yang tak lagi tertahan itu. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar