Kontakpublik.id, BANTEN- Tragika kematian para raja-raja dan ratu yang ditawur oleh rakyatnya sendiri lantaran perlakuannya yang semena-mena, zalim, despotik, memeras dan menindas sehingga kemarahan rakyat tidak lagi dapat ditahan, tidak sedikit akhirnya sang raja maupun ratu terpaksa digiring ke tiang gantungan atau pisau guillotine yang untuk memancung lehernya.
Kisah kelam Raja Louis XVI yang menandai kesuksesan volusin Perancis tercatat pada 21 Januari 1793 silam. Revolusi yang sukses dan pantas menjadi rujukan banyak Negera di dunia khusus Eropa juga menandai peralihan bentuk negara monarki menjadi republik. Maka sungguh naib ketika hari ini tiba-tiba muncul negara yang sudah menjadi republik hendak kembali menjadikan negara monarki, seperti di negeri konoha yang sudah sering disebut banyak orang dan karena telah menimbulkan keresahan.
Sementara kerajaan di Nusantara yang telah sangat besar jasanya membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, justru diabaikan, tidak diberi peran untuk menjaga dan memajukan negara republik yang dibangun dari sikap ugahari para Raja dan Sultan maupun Ratu sebagai penguasa sebelum Indonesia merdeka. Karena itu, peran dan fungsi masyarakat keraton dan adat di Nusantara sepantasnya hari ini dijadikan pusat pengembangan peradaban, setidaknya atas keikhlasan serta kerelaan masyarakat keraton maupun masyarakat adat memberikan semua hak kekuasaan dan otoritasnya terhadap wilayah atau ulayat hingga kekayaan miliki mereka demi dan untuk tegaknya Republik Indonesia yang bersatu serta berdaulat agar tidak lagi menjadi bancaan bangsa asing.
Kutukan dan eksekusi mati Raja Perancis dari dinasty Bourbon karena dinilai telah khianat pada keberpihakannya untuk rakyat, pantas dipenggal dan patut menjadi pelajaran yang baik bagi para penguasa yang masih bernafsu untuk menjadikan republik ini kerajaan seperti yang dipertontonkan pada hari ini dengan memposisikan anak dan menantu untuk mengangkangi posisi tertentu dalam pemerintahan yang sudah disepakati untuk dikelola dalam sistem negara republik, hujan monarki.
Raja Louis XVI dipenggal kepalanya karena khianat pada amanah rakyat yang memang tidak tertulis. Tapi untuk negara yang dikelola dalam model republik telah jelas tata kelolanya agar tidak dilakukan sekehendak hati, sesuai selera dan keinginan sendiri. Itulah sebabnya Dewan Perwakilan Rakyat yang kini sudah tidak lagi mau menyuarakan suara rakyat ikut didesak untuk segera dibubarkan, karena hanya bisa melahap uang rakyat yang dikelola oleh negara secara serampangan dan justru membuat penderitaan rakyat semakin berat.
Rakyat Perancis yang menyaksikan pengkhianatan Raja Louis XVI itu melalui harga bahan pangan yang selangit, jumlah pengangguran makin bertambah, hasil panen petani menjadi tidak berarti karena dibanjiri produksi impor hingga semua bentuk usaha menjadi tersendat sampai UMKM nelangsa dan merana seperti yang terjadi dimana-mana di Indonesia.
Kondisi masyarakat Perancis pun ketika itu yang dimulai dari penangkapan Raja Louis XVI pada 10 Agustus 1792 saat dia berusaha kabur bersama keluarganya hingga Louis XVI serta permaisurinya Antoinette dilempar ke dalam benteng kuno sebagai penjara selama satu tahun. Dan pengkhianatan yang dia lakukan dikenakan hukuman mati yang setimpal lewat gunting raksasa guillotine disaksikan secara terbuka bagi seluruh rakyat. Pasal pelanggaran yang dilakukan Louis XVI pun diantaranya adalah memperkaya diri dengan hutang negara yang bejibun. Akibatnya ekonomi rakyat ambruk dan jeblok. Sementara dia dan keluarga serta para kroninya berpoya-poya dengan duit rakyat dan beban hutang yang kelak harus dibayar pula oleh rakyat. Itulah sebabnya tradisi reshuffle juga terjadi seperti yang bisikan disuntik permaisuri Antoinette pada 1776 hingga Menteri Ekonomi Perancis jadi digantikan oleh Jacques Necker yang akhirnya tidak mampu bertahan pada 1789 mengundurkan diri dari jabatannya yang empuk dan gurih itu. Tapi, tingkat inflasi yang gawat -- hingga 50 persen -- akibat dana negara yang terus dihambat, termasuk untuk perang membuat kekacauan semakin tidak terkendalikan di wilayah kekuasaan yang dikelola secara serampangan itu. Meski saat yang gawat itu Perancis masih membentuk States General -- seperti DPR di Indonesia dan Majelis Nasional setara MPR tapi semua tetap magel, ibarat obat yang terlambat diberikan kepada orang yang sudah sekarat.
Jadi masalah hutang kerajaan yang terus menggunung itu dan inflasi gila-gilaan berlangsung, sungguh sangat celaka akibatnya bagi penguasa tetap abai. Begitulah Historis yang tentang Koning Lodewijk XVI Word in Parijs onthord (1793) mengungkap tentang kegeraman rakyat melakukan protes yang berujung pada revolusi Perancis dengan penyerbuan Penjara Bastille. Meski usaha pembunuhan terhadap Antoinette gagal, bentuk negara monarki Perancis mampu dijadikan republik pada 21 September 1791.
Jadi, birahi Indonesia untuk dijadikan negeri monarki justru artinya mundur tiga abad dari peradaban manusia di bumi. Padahal, kata Albert Camus, betapa mahal revolusioner harus dibangun jadi republik, diantaranya harus ditebus oleh penggalan kepala sang raja. Padahal, Louis XVI sebelumnya telah diyakini sebagai Tuhan oleh rakyatnya. Toh, kepalanya jatuh menggelinding, seperti yang dipungut oleh seseorang lalu mengangkatnya tinggi-tinggi seraya untuk meyakinkan bahwa kepala manusia yang mengaku Tuhan itu telah selesai riwayatnya. Bahkan sang istrinya pun, beberapa waktu kemudian menyusul dipenggal juga lehernya dengan cara yang sama.
Seorang kawan penulis sepontan menyela saat tulisan ini sedang dibuat. Dia tidak bisa membayangkan bila kejadian serupa itu dilakukan Tugu Monas, Jakarta. Tempat mereka biasa melakukan aksi dan unjuk rasa untuk menyampaikan beragam masalah. Dan tugu Monas itu selalu setia melihat dan mendengarkan suara rakyat yang menyampaikan beragam masalah yang menghimpit hidup sehari-hari sambil menahan lapar karena sejak pagi hingga menjelang sore belum ada yang bisa makan.(Rudi Bako)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar